penetapan tingkat margin pada pembiayaan murabahah


Penetapan Margin Keuntungan Pembiayaan Murabahah di Bank Syariah


Penetapan nilai margin ialah Penetapan keuntungan dari harga jual sejumlah tertentu dangan mempertimbangkan keuntungan yang akan diambil, biaya-biaya yang ditanggung termasuk antisipasi timbulnya kemacetan dan jangka waktu pengembalian.[1]
Sedangkan rasio margin keuntungan menurut pendapat Hariyadi (2002: 297) merupakan ukuran kemampuan manajemen untuk mengendalikan biaya operasional dalam hubungannya dengan penjualan. Makin rendah biaya operasi per rupiah penjualan, makin tinggi margin yang diperoleh. Rasio margin keuntungan dapat pula menggambarkan kemampuan perusahaan dalam menetapkan harga jual suatu produk, relatif terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk tersebut.[2]
Dari sini saya pahami bahwa margin keuntungan adalah nilai keuntungan yang tetapkan oleh perusahaan berdasarkan biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Penetapan margin keuntungan merupakan salah satu manajemen risiko dari perusahaan agar penjualannya tidak mengalami kerugian.
Adiwarman Karim dalam bukunya Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan memberikan definisi terkait margin keuntungan yang diterapkan di bank syariah, yakni persentasi tertentu yang ditetapkan per tahun perhitungan margin keuntungan secara harian, maka jumlah hari dalam setahun ditetapkan 360 hari; perhitungan margin keuntungan secara bulanan, maka setahun ditetapkan 12 bulan.

Nasabah Bank dan Margin Keuntungan Pembiayaan Murabahah
Fakta: Nasabah bank syariah masih menganggap bahwa margin keuntungan dalam pembiayaan murabahah sama dengan bunga bank konvensional (riba).
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli (PSAK 102 paragraf 5), maka transaksi murabahah tidak harus dalam bentuk pembayaran tangguh (kredit), melainkan dapat juga dalam bentuk tunai setelah menerima barang, ditangguhkan dengan mencicil setelah menerima barang, ataupun ditangguhkan dengan membayar sekaligus di kemudian hari (PSAK 102 paragraf 8).
Dengan akad murabahah, penjual akan melakukan mark up terhadap harga barang yang dijual. Oleh karenanya, dalam akad murabahah penjual tidak akan luput dari penetapan margin keuntungan. Margin keuntungan yang ditetapkan tersebut berhak diketahui oleh pembeli. Bahkan, penjual berkewajiban memberi tahu si pembeli berapa margin keuntungan yang ditetapkan olehnya. Hal tersebut dilakukan agar kedua belah pihak dapat bersepakat sehingga tidak ada pihak yang akan terdzalimi. Jika margin keuntungan ditetapkan tanpa memerhatikan hak-hak si pembeli maka margin keuntungan tidak akan ada bedanya dengan riba.
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “akad murabahah” adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
Dalam transaksi murabahah di bank syariah, penetapan margin keuntungan untuk pembiayaan murabahah tersebut kerap kali tidak disepakati bersama dengan nasabah bank. Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa nasabah bank yang didokumentasikan dari hasil wawancara yang dilakukan oleh Dina Mardiyah, sebagai berikut:
No Responden Hasil Wawancara
2 Nurul Fatimah (Ka.Bag Operasional) ·         Terdapat perbedaan nilai margin dengan fasilitas yang sama dalam pembiayaan murabahah, untuk pekerja 0,5% sedang umum 2%. ·         Menerima nilai margin yang ditetapkan tanpa mengetahui, metode yang digunakan dalam melakukan penetapan nilai margin oleh direksi.
3 Yuyun (Nasabah Pembiayaan) ·         Menerima fasilitas pembiayaan murabahah untuk keperluan keluarga. ·         Tidak mengetahui besar nilai % margin.
·         Tidak memahami margin, dan menganggap margin masih sebagai bunga.
4 Sri (Nasabah Pembiayaan) ·         Menerima fasilitas pembiayaan murabahah untuk keperluan membangun rumah. ·         Tidak mengetahui besar nilai % margin.
·         Tidak memahami margin, dan menganggap margin masih sebagai bunga.
Sumber: Pejabat dan Nasabah PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali, Wawancara yang dilakukan oleh  Dina Mardiyah untuk penelitiannya yang berjudul Analisis Penetapan Margin, 2013
Dari hasil wawancara di atas dapat kita ketahui bahwa tidak ada metode yang pasti dalam penetapan margin keuntungan yang dilakukan oleh PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali. Meskipun hanya satu bank saja yang dipastikan tidak mengetahui metode penetapan margin tersebut, namun tidak menutup kemungkinan bahwa bank-bank yang lainnya pun demikian. Ironisnya, nasabah bahkan masih menganggap margin keuntungan tersebut sama dengan bunga.
Dalam penelitian yang dilakukan Dina Mardiyah secara rinci dapat diketahui hasil atau fakta, sebagai berikut:
  1. Penetapan nilai margin tidak diketahui dasar pengambilannya dengan jelas, atau perincian dalam perumusan pengambilan nilai margin oleh pekerja pelaksana operasional khususnya dalam pembiayaan murabahah, karena margin telah ditentukan dalam rapat direksi dalam bentuk persentase.
  2. Nilai margin yang berbeda diberikan dengan fasilitas pembiayaan murabahah yang sama, karena faktor kedudukan sebagai pekerja dan masyarakat biasa, yaitu untuk pekerja 0,5%/bulan sedang masyarakat penerima fasilitas 1,5-2%/bulan
  3. Nasabah masih tidak memahami konsep nilai margin, margin dianggap sama dengan bunga pada pembiayaan murabahah, dan tidak mengetahui dengan pasti besaran margin yang menjadi kewajiban yang harus dibayarkan kepada pihak bank.
  • Suatu contoh transaksi murabahah dengan margin yang telah ditetapkan, bank membeli sebuah mobil seharga Rp 100.000.000,- dan kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang sudah dinaikkan (di mark up) sebersar Rp 120.000.000,- dimana pembayaran dilakukan lewat angsuran, maka dari bentuk contoh transaksi di atas akan terlihat bahwa bank syariah hanya sekedar menggantikan tingkat suku bunga dengan tingkat laba dari harga yang sudah dinaikkan. Bahkan, perbedaan antara keduanya bisa lenyap apabila tidak ada kecermatan yang memadai dari petugas pelaksana maupun pihak-pihak berwenang yang menetapkan nilai margin dalam pembiayaan murabahah pada bank syariah.[3]
Maka dari itu, dalam menetapkan margin keuntungan di bank syariah diperlukan kecermatan dari pihak-pihak yang berwenang, metode penetapan margin yang jelas, dan sosialisasi kepada nasabah bank atau masyarakat agar bank syariah dapat benar-benar terbebas dari riba serta nasabah tidak lagi menganggap margin keuntungan dalam pembiayaan murabahah sama dengan bunga (riba).
Tingkat Margin Keuntungan Pembiayaan Murabahah
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa margin keuntungan merupakan salah satu bentuk dari manajemen risiko suatu perusahaan. Hal ini berlaku pula untuk bank syariah. Penetapan margin keuntungan di bank syariah juga bertujuan untuk antisipasi timbulnya wanprestasi atau kemacetan dari nasabah dan guna menghindari kerugian.
Dalam bukunya Adiwarman Karim (2014), saya dapati bahwa DSN MUI telah menerbitkan fatwa mengenai penetapan margin keuntungan dalam pembiayaan murabahah di bank syariah. Dalam fatwa DSN MUI Nomor 84 diketahui bahwa ada dua jenis metode perhitungan margin keuntungan pembiayaan murabahah yang dilakukan dengan mengangsur. Berikut bunyi fatwanya:
Pengakuan keuntungan al-tamwil bi al-murabahah (pembiayaan murabahah) dalam bisnis yang dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syariah, boleh dilakukan secara proposional (thariqah al-hisab ‘ala kamil al-mablagh/thariqah mubasyirah) dan secara anuitas (thariqah al-hisab al-tanazuliyyah/thariqah al-tanaqishiyyah) selama sesuai dengan urf (kebiasaan) yang berlaku di kalangan lembaga keuangan syariah.”
Hal yang paling saya garis bawahi di atas, di samping mengenai metode perhitungan margin keuntungan ialah urf. Dari sini saya pahami bahwa dalam menetapkan atau memperhitungkan besaran margin itu sendiri tidak tidak diatur secara spesifik dalam al-Quran dan sunnah. Dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adilatuha, juz V, hlm. 3939 ditegaskan bahwa:
“Metode pengakuan keuntungan dalam akad murabahah tidak diatur dalam dalil khusus baik berupa ayat al-Quran maupun sunnah; karenanya metode pengakuan keuntungan murabahah termasuk maskut anha (tidak diatur dalam fiqih), sehingga dalilnya dikembalikan pada prinsip/pokok sebagai hukum aslah dalam muamalat, yaitu boleh (mubah) sepanjang ada dalil syari’i yang melarang, serta sejalan dengan maslahat dan urf (kebiasaan) yang sah”.[4]
Hal tersebut berlaku pula untuk penetapan tingkat margin keuntungan, dalam artian bahwa penjual boleh menetapkan berapapun tingkat margin keuntungannya asalkan tidak bertentangan dengan yang biasa ditetapkan oleh pedagang lain (kebiasaan/urf masyarakat). Begitupun dengan bank syariah, bank boleh menetapkan berapapun tingkat margin keuntungan dari hasil penjualan murabahah asalkan sesuai dengan yang biasa berlaku di kalangan lembaga keuangan syariah pada umumnya. Dengan kata lain, tidak ada batasan dalam mengambil keuntungan penjualan (murabahah).
Di samping berdasarkan urf, penetapan tingkat margin keuntungan juga berdasarkan pada hadis Rasulullah. Beberapa hadis Rasulullah menunjukan bolehnya mengambil laba atau profit margin hingga 100% dari modal. Di antaranya ialah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (no. 3129) yang menceritakan Zubeir bin Awwam salah seorang dari sepuluh sahabat Nabi SAW yang dijamin masuk surga. Ia pernah membeli sebidang tanah di daerah ‘Awali Madinah dengan harga 170.000 kemudian dijualnya dengan harga 1.600.000. ini artinya sembilan kali lipat dari harga belinya.[5]
Jadi, tidak ada ukuran khusus mengenai tingkat atau besaran margin keuntungan yang bisa dijadikan referensi bagi para penjual dan bank syariah. Berdasarkan kutipan di atas, ukuran umum untuk menetapkan tingkat margin keuntungan ialah urf dan maslahat. Selama tingkat margin keuntungan sesuai dengan urf (kebiasaan) dan tidak mendzalimi salah satu pihak atau tidak menimbulkan madharat (kerusakan) maka tingkat margin keuntungan tersebut masih dianggap sah menurut syariah, sekalipun itu hingga mencapai 100% dari biaya produksi (modal).
Referensi Tingkat Margin Keuntungan di Bank Syariah
Yang dimaksud dengan referensi margin keuntungan adalah margin keuntungan yang ditentukan dalam rapat ALCO. Penetapan tingkat margin keuntungan pembiayaan berdasarkan rekomendasi, usul dan saran dari tim ALCO Bank Syariah, dengan mempertimbangkan Direct Competitor’s Market Rate (DCMR), Indirect Competitor’s Market Rate (ICMR), Expected Competitive Return for Investor (ECRI), Acquiring Cost, dan Overhead Cost.[6]
DCMR adalah tingkat margin keuntungan rata-rata perbankan syariah, atau tingkat margin keuntungan rata-rata beberapa bank syariah yang ditetapkan dalam rapat ALCO sebagai kelompok kompetitor langsung. ICMR adalah tingkat rata-rata perbankan konvensional, atau tingkat rata-rata suku bunga beberapa bank konvensional yang dalam rapat ALCO ditetapkan sebagai kompetitor tidak langsung. Sedangkan acquiring cost dan overhead cost merupakan biaya yang dikeluarkan oleh bank baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga.[7] Saya pahami bahwa DCMR merupakan referensi untuk menetapkan tingkat margin keuntungan -yang sebenarnya- berdasarkan pada urf (kebiasaan) di lingkungan bank syariah.
Oleh karena dalam penetapan tingkat margin keuntungan, bank syariah juga memerhatikan tingkat suku bunga kompetitor tidak langsung maka margin dan ketentuan pembayaran pada pembiayaan murabahah harus diketahui dan ditetapkan pada saat pelaksanaan akad. Hal ini guna mencegah terjadinya gharar bagi kedua pihak apabila tingkat suku bunga pasar (kompetitor tidak langsung) berubah. Margin keuntungan ini tidak dapat diubah sejak ditetapkan di awal akad.
Nilai penetapan margin pada dasarnya bersifat pasti sesuai dengan jangka waktu pembayaran. Tentunya hal ini harus sudah dapat diprediksi oleh analis dari perbankan syariah, oleh karena itu pada bank syariah margin bersifat fixed cost. Klausul penetapan nilai margin dalam perjanjian akad pembiayaan murabahah bukan saja perlu bagi pihak bank, melainkan juga demi kepentingan nasabah sebagai pihak penerima pembiayaan. Nasabah harus mengetahui dengan jelas berapa jumlah yang menjadi kewajiban yang harus ditanggungnya.[8]
Tingkat margin keuntungan yang diambil dapat dihitung berdasarkan harga jual, penghitungan harga jual pada pembiayaan murabahah dapat dirumuskan sebagai berikut :
Gambar 2.3 : Contoh Perhitungan Harga Jual dalam Murabahah
Sumber : Muhammad,  Manajemen Pembiayaan Bank Syariah
Biaya yang dikeluarkan dan harus dikembalikan (cost recovery) bisa didekati dengan membagi proyeksi biaya operasional bank, dengan target volume pembiayaan murabahah di bank syariah[9].
Dengan demikian, penetapan tingkat margin keuntungan di bank syariah ditetapkan dengan pertimbangan-pertimbangan yang apik atau tidak semena-mena. Maka dapat dipastikan bahwa margin keuntungan untuk pembiayaan murabahah berbeda dengan bunga. Hal ini perlu dipahami oleh pekerja bank syariah dan nasabahnya.  
[1] Faturrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), Cet. 1, h. 17. Dikutip dari
[2] www.kajianpustaka.com/2012/11/rasio-profit-margin.html Tanggal 28 November 2015.
[3]www.academia.edu/5471452/Bab_IV_Penelitian_Analisis_Penetapan_Margin_dan_Penerapan_Manajemen_Risiko_dalam_Pembiayaan_Murabahah_di_PT._BPRS_Fajar_Sejahtera_Bali Tanggal. 25 November 2015
[4] Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 288
[5] www.daktuna.com/2009/10/19/4342/batasan-tingkat-keuntungan-dalam-syariah-dan-kebijakan-pricing-pemerintah/#axzz3s4zK2QvY Tanggal. 29 November 2015
[6] Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 280
[7] Adiwarman Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004),  hlm. 280-281
[8]www.academia.edu/5471452/Bab_IV_Penelitian_Analisis_Penetapan_Margin_dan_Penerapan_Manajemen_Risiko_dalam_Pembiayaan_Murabahah_di_PT._BPRS_Fajar_Sejahtera_Bali Tanggal. 25 November 2015
[9] Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN), h. 143. Dikutip dari www.academia.edu/5471452/Bab_II_Penelitian_Analisis_Penetapan_Margin_dan_Penerapan_Manajemen_Risiko_dalam_Pembiayaan_Murabahah_di_PT._BPRS_Fajar_Sejahtera_Bali Tanggal. 25 November 2015

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

puisi cinta VIRGOUN dalam SURAT CINTA UNTUK STARLA

Economic Engineering-Economic-Harga BBM dan Listrik Tak Naik pada April-Juni 2017

Resiko Deteksi dan Pengujin Substantif